Kajian Lingkungan Hidup Strategis


KLHS
“Kajian Lingkungan Hidup Strategis”






Nama :
1.      Raji Reza Ilahi
2.      Rio Handika Putra
3.      Agnesia Irawati
4.      Josyedi Pindota S
5.      Zahran Mabrukah Tomimi
6.      Nur Miessuary
7.      Pramasty Ayu kusdinar

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS BENGKULU
2016





KATA PENGANTAR

 Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

    Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

    Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
    
                                                                                      Bengkulu,  09 November 2016
    

        Kelompok                                      









DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................5
1.1            LATAR BELAKANG MASALAH .........................................................5
1.2            RUMUSAN MASALAH..........................................................................5
1.3            TUJUAN ..................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian KLHS....................................................................................7
A.Mengapa Perlu KLHS?.............................................................................8
B. Apa tujuan KLHS?. .................................................................................10
C. Manfaat KLHS. ......................................................................................10
D. Beberapa tools pendukung dalam menyusun KLHS. .....................................10
E. 3 (Tiga) Prinsip Dasar KLHS. ....................................................................11
F. Macam-Macam Aplikasi KLHS. ................................................................11

2.2 Perbedaan AMDAL dengan KLHS. ......................................................12
2.3Kerangka kerja KLHS...........................................................................13
2.4 Penapisan.................................................................................................13
A.Pelingkupan. ............................................................................................14
B.Telaah Dan Analisis Teknis. .......................................................................14
C.Pengembangan Alternatif. ..........................................................................15
D.Pengambilan Keputusan. ............................................................................15
E.Pemantauan Dan Tindak Lanjut....................................................................15
F.Partisipasi Dan Konsultasi Masyarakat..........................................................15
2.5 Internalisasi KLHS Dalam Proses Penyusunan RTRW.........................16
2.6 Pentingnya Penerapan KLHS DiIndonesia........................................16
A.Manfaat KLHS. ........................................................................................18
2.7 KLHS Dalam Perencanaan Tata Ruang. ............................................20
A.Proyek Pilot Ciayumajakuning Dan Kota Lainnya. .........................................21

PENUTUP.
DAFTAR PUSAKA.






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang [UU 24/1992], yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 [UU 26/2007]. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.  
Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.  Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup

1.2 Rumusan Masalah
1.Apa pengertian KLHS ?
2.Apa manfaat KLHS dalam strategi pembangunan regional dan lingkungan ?
3.Apa Fungsi KLHS dalam pembangunan di indonesia ?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian KLHS .
2.      Untuk mengetahui manfaat KLHS dalam SPRL .
3.      Untuk mengetahui fungsi KLHS dalam pembanggunan di indonesia .
4.      Untuk memenuhi tugas kelompok.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian KLHS
            Saat ini pencemaran dan kerusakan lingkungan terus berlangsung karena instrumen lingkungan yang ada saat ini belum memadai. AMDAL saat ini merupakan salah satu instrumen yang dikenal untuk mengintegrasikan lingkungan hidup di dalam proses pembangunan. Namun AMDAL  memiliki keterbatasan di dalam mengupayakan keberlanjutan pembangunan, karena banyak permasalahan lingkungan yang timbul diluar cakupan yang ada di dalam studi AMDAL. Hal ini terjadi karena dalam penyusunan kebijakan,  rencana dan program (KRP) belum berwawasan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, lahirlah aplikasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) atau strategis environmental assessment (SEA).  Klhs merupakan instrumen untuk pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan melalui intervensi terhadap kebijakan/rencana/program. 
Landasan hukum pelaksanaan klhs tercantum dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut undang-undang tersebut, kajian lingkungan hidup strategis adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Pengertian KLH Ssuatu proses sistematis untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari rencana, kebijakan dan program (KRP) di negara-negara maju dikenal dengan SEA (strategic environmental assessment), mengintegrasikan aspek lingkungan padatahapan awal pengambilan keputusan.
Definisi KLHS di Indonesia Rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. " (UU PPLH Pasal 1 angka 10)
Aspek lingkungan dalam penataan wilayah memang sangat penting, meskipun peraturan penataan ruang telah memasukkan unsur-unsur pengelolaan lingkungan dalam aturan dan petunjuk pelaksanaan penataan ruang tetapi belum mampu diaplikasikan mengingat beragamnya kondisi yang ada di setiap wilayah Indonesia.  Wilayah pantai, rawa, dataran rendah, perukitan dan  wilayah pegunungan akan memiliki cara berbeda dalam rangka melakukan upaya penyelamatan lingkungan menuju pembangunan yang lestari. Wilayah hutan alami, hutan sekunder, savanah dan wilayah karst akan juga berbeda perencanaan ruangnya. Perbedaan ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan perencanaan ruang dengan mengaplikasikan KLHS.
Ambil contoh mengenai aturan sebelumnya yang melarang aktifitas disepanjang wilayah sungai. Padahal ratusan tahun masyarakat di wilayah Indonesia baik di barat maupun timur hidup di pinggiran sungai dengan berbagai alasan yang relevan dengan kondisi masyarakat itu sendiri.
Highlight tentunya tetap pada kapasitas perencanaan di daerah, ketika penerapan tata ruang di kabupaten belum lagi merata kapasitasnya, UU no 32 2009 mengenai pengelolaan lingkungan hidup mengamanatkan penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis / KLHS.  Ini menjadi tambahan tugas  baru buat daerah yang harus difollow up dengan beberapa kegiatan.
A.Mengapa Perlu KLHS?

Ada banyak alasan menjadi menjadi penting, diataranya:
§  Meningkatkan manfaat pembangunan.
§  Rencana dan implementasi pembangunan lebih terjamin keberlanjutannya.
§  Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
§  Dampak negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan semakin efektif diatasi atau dicegah karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
Dalam memberikan penjelasan mengenai KLHS ada banyak pihak yang masih sulit membedakan antara KLHS dengan AMDAL. Tabel berikut ini akan memberikan gambaran mengenai perbedaan tersebut.

Atribut
AMDAL
KLHS
Posisi
Akhir siklus pengambilan keputusan
Hulu siklus pengambilan keputusan
Pendekatan
Cenderung bersifat reaktif
Cenderung pro-aktif
Fokus analisis
Identifikasi, prakiraan & evaluasi dampak lingkungan
Evaluasi implikasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan
Dampak kumulatif
Amat terbatas
Peringatan dini atas adanya dampak kumulatif
Titik berat telaahan
Mengendalikan dan meminimumkan dampak negatif
Memelihara keseimbangan alam, pembangunan berkelanjutan
Alternatif
Alternatif terbatas jumlahnya
Banyak alternatif
Kedalaman
Sempit, dalam dan rinci
Luas dan tidak rinci sebagai landasan untuk mengarahkan visi & kerangka umum
Deskripsi proses
Proses dideskripsikan dgn jelas, mempunyai awal dan akhir
Proses multi-pihak, tumpang tindih komponen, KRP merupakan proses iteratif & kontinyu
Fokus pengendalian dampak
Menangani simptom kerusakan lingkungan
Fokus pada agenda pembangunan berkelanjutan, terutama ditujukan utk menelaah agenda keberlanjutan,



B. Apa tujuan KLHS?
  1. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dan keberlanjutan dalam penyusunan kebijakan, rencana, atau program (KRP) 
  2. Memperkuat proses pengambilan keputusan atas KRP  
  3. Membantu mengarahkan, mempertajam fokus, dan membatasi lingkup penyusunan dokumen lingkungan yang dilakukan pada tingkat rencana dan pelaksanaan usaha atau kegiatan

C. Manfaat KLHS
  1. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan, 
  2. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian sistematis dan cermat atas opsi pembangunan yang tersedia, 
  3. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi, 
  4. Mencegah kesalahan investasi dengan berkat teridentifikasinya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak dini 
  5. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi 
  6. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan, 
  7. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
D. Beberapa tools pendukung dalam menyusun KLHS
  1. Tingkat kerentanan dan adaptasi perubahan iklim 
  2. Daya dukung dan daya tampung lingkungan 
  3. Kondisi jasa ekosistem 
  4. Neraca SDA dan valuasi ekonomi 
  5. Potensi keanekaregaman hayati
E. 3 (Tiga) Prinsip Dasar KLHS
  1. Keterkaitan / holistik : Keterkaitan kebijakan pusat dan daerah, global dan lokal, keterkaitan sektor, keterka-itan kelembagaan, sebab-akibat dampak 
  2. Keseimbangan : Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan konservasi kehati, fungsi ekonomi dan fungsi sosial, kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. 
  3. Keadilan : Distribusi akses dan kontrol terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang lebih baik, distribusi kegiatan ekonomi yang lebih merata.

F. Macam-Macam Aplikasi KLHS
  1. KLHS Sektor 
  2. KLHS Tata Ruang 
  3. KLHS Rencana Pembangunan Nasional (RPJM, RPJPN) 
  4. KLHS Rencana Pembangunan Daerah (RPJPD, RPJMD) 
  5. KLHS Regional (DAS, Kawasan Ekonomi Khusus) 
  6. KLHS Program Pengembangan Kota 
  7. KLHS Pengelolaan Sumber Daya Alam (Nasional, Provinsi, Kabupaten, Kota, Pulau) 
  8. KLHS untuk Kebijakan, Rencana dan Program Pembangunan Lainnya










2.2 Perbedaan AMDAL dengan KLHS


2.3 Kerangka kerja KLHS
2.4 Penapisan
Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan: a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan.
Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
§  Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan kerusakan sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS? dan/atau
§  Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir, longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau
§  Apakah  rancangan   RTR   berpotensi  menurunkan mutu air dan udara termasuk ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk padat? dan/atau
§   Apakah  rancangan  RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses? dan/atau
§  Apakah rancangan  RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan (livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang?Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.

A.Pelingkupan
Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.
B.Telaah Dan Analisis Teknis
Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:
-   Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,
-   Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.
-   Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan.
-   Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
C. Pengembangan Alternatif
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan-kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).
D.Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisalbenefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.
E.Pemantauan Dan Tindak Lanjut
Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.
F.Partisipasi Dan Konsultasi Masyarakat
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi tergantung pada aras (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan masyarakat. 
Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan. 
2.5 Internalisasi KLHS Dalam Proses Penyusunan Rtrw
Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada masing-masing RTRW. 
Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

2.6Pentingnya Penerapan KLHS Di Indonesia
Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terns meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun.
Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, dari faktor demografis, etika, social, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik.
Kebijakan, rencana dan program (KRP) pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang telah diluncurkan pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategic yang menyebabkan terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau Bapedalda provinsi/kabupaten/kota) cenderung “terlepas” atau “terpisah” dari KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu (embedded) atau tidak terintegrasi.
Pengalaman implementasi berbagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, utamanya AMDAL, menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu instrumen pengelolaan lingkungan cukup efektif dalam memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan alam rancang-bangun proyek-proyek individual, tapi secara konsep pembangunan menyeluruh, instrumen AMDAL belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik.
Saat ini, pergeseran orientasi kebijakan pengelolaan lingkungan telah mengarah pada intervensi di tingkat makro dan pada tingkat hulu dari proses pengambilan keputusan pembangunan.
Esensinya adalah bahwa kerjasama antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan akan lebih efektif apabila lebih fokus pada upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan pada tingkat makro/nasional daripada terbatas pada pendekatan di tingkat proyek.
Dalam konteks pergeseran strategi mewujudkan pembangunan berkelanjutan inilah peran KLHS menjadi penting. Implementasi KLHS juga diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environmental effects) dan lintas sektor.
Penanganan dampak lintas wilayah dan lintas sektor ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas permasalahan lingkungan hidup yang cenderung makin kompleks dengan hidup telah dijadikan pertimbangan dalam setiap tingkatan pengambilan keputusan, dan dengan demikian, keberlanjutan pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey, 1999).
Dengan kata lain, secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan dilaksanakannya, atau lebih tepatnya, distorsi pelaksanaan Undang-Undang No. 34 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, KLHS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang semata-mata ditujukan pada komponen-komponen KRP, tapi yang lebih penting adalah sebagai suatu cara untuk meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan lingkungan.
Seiring dengan semakin berkembangnya KLHS, tujuan KLHS juga mengalami perluasan dibanding ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an. Pada saat ini teridentifikasi tiga pilihan tujuan KLHS yang tersusun secara berjenjang (hirarkis), yakni: instrumental, transformatif dan subtantif (Sadler 2005:20, dan Partidario 2000).
Untuk menghasilkan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif tidak cukup hanya mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode KLHS, namun juga diperlukan kehadiran good governance yang diindikasikan oleh adanya keterbukaan, transparansi, dan tersedianya aneka pilihan kebijakan, rencana, atau program.
Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia, tahun-tahun pertama aplikasi KLHS agaknya akan banyak didominasi oleh KLHS instrumental, walau tidak tertutup kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.

A.Manfaat KLHS

KLHS diperlukan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self assessment untuk melihat sejauh mana KRP yang diusulkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN), KLHS menjadi kerangka integratif untuk:
o    Meningkatkan manfaat pembangunan.
o    Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan.
o    Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat Kabupaten, Provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program.
o    Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
o    Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap formulasi kebijakan, rencana, atau program pembangunan.
Sedangkan dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat ini: pertama, KLHS mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003). Manfaat lebih lanjut yang dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer 1999; UNEP 2002):
1.         Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan;
2.      Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia;
3.      Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi;
4.      Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan;
5.      Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi;
6.      Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guns menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan;
7.      Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.
KLHS merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan pada tingkat/tataran hulu. Dengan dilakukannya KLHS pada tataran hulu KRP maka potensi dihasilkannya KRP yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya berimplikasi pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup dapat diantisipasi sejak dini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan melakukan KLHS adalah dihasilkannya KRP yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

2.7KLHS Dalam Perencanaan Tata Ruang.

Efektivitas KLHS sebagai instrumen pengelolaan LH menuju pembangunan berkelanjutan karena kajian lingkungan tersebut dilaksanakan pada tahap awal proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas KRP memberi kesempatan untuk memasukkan aspek LH dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Partidario, 1996; Annandale dan Bailey, 1999; Therivel, 2004).
Dengan kata lain, KLHS bergerak di bagian hulu dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu KRP. Untuk memudahkan pemahaman KLHS, berikut ini adalah definisi KLHS yang digunakan sebagai acuan. Definisi serupa, tapi berbeda perspektif dan penekanannya dapat dilihat sebagai berikut:
“SEA is a systematic process for evaluating the environmental consequences of proposed policy,plan, or program initiatives in order to ensure they are fully included and appropriately addressed at the earliest appropriate stage of decision-making on par with th economic and social considerations” (Sadler dan Verheem, 1996).
Definisi tersebut menunjukkan bahwa Skala sasaran kajian KLHS lebih luas daripada instrumen pengelolaan LH lain, misalnya AMDAL karena analisis dampak KRP mempunyai implikasi dampak lebih luas/makro. Selain itu, KLHS fokusnya adalah pada tataran konsep dan bukan pada tataran disain teknis yang bersifat fisik. Yang terakhir ini menjadi tekanan/fokus studi AMDAL.
Kata “stratejik” dalam KLHS menjadi kata kunci yang membedakan antara instrumeninstrumen pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan dan instrumen KLHS. Istilah “stratejik” dalam konteks KLHS secara umum dapat diartikan secara konseptual berkaitan dengan “akar” permasalahan yang harus menjadi fokus kajian lingkungan yang dilakukan, yaitu proses dan hasil pengambilan keputusan. Pengertian “stratejik” dalam KLHS pada umumnya berasosiasi dengan tiga hal berikut (Partidario, 1994):
1.      strategis dalam konteks pengambilan keputusan;
2.      keberlanjutan proses pengambilan keputusan, yaitu proses penyempurnaan KRP secara terusmenerus;
3.      fokus pada manfaat hasil keputusan, merujuk pada beragamnya alternatif pilihan KRP dalam proses perencanaan pembangunan yang bersifat “strategis”.
Pertanyaannya adalah: pilihan KRP apa yang mungkin dilakukan untuk menangani satu persoalan khusus atau kebutuhan yang spesifik?; konsekuensi lingkungan apa yang akan terjadi sebagai respons dari pilihan tersebut?, dan pilihan KRP mana yang dari segi lingkungan terbaik? Jawaban pertanyaanpertanyaan ini jauh lebih penting (dari kepentingan lingkungan) daripada menunjukkan rencana kegiatan yang akan dilakukan, kemudian mempertanyakan: dampak lingkungan apa yang akan terjadi? Kasus yang terakhir adalah pola pendekatan yang dilakukan dalam AMDAL.

A.Proyek Pilot Ciayumajakuning Dan Kota Lainnya

Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi arus-utama (main-streaming) bagi pembangunan di Indonesia sebagaimana yang diamanahkan dalam Rencanan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) adalah merupakan konsep atau pemikiran yang tidak dapat begitu saja didefinisikan secara kaku (rigid), seperti yang disampaikan oleh Jacquet (2009):
“Sustainable Development is, above all, a social and political concept. It cannot be decreed, and cannot be defined by purely scientific methods. Against a backdrop of increasingly precise but still incomplete scientific research, sustainable development is being carried forward by groups who have their own value systems and interests and who are negotiating to define what theworld id or should be”.
Dengan pengertian di atas, maka KLHS yang bertujuan untuk mewujudkan kapasitas pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Pendekatan penerapan eksplorasi aspirasi publik seperti yang diterapkan pada percontohan di Ciayumajakuning diharapkan menjadi satu pendekatan yang wajar dalam kerangka KLHS. Lebih dari itu pola kegiatan penerapan tahapan KLHS di daerah pilot Ciayumajakuninggardang dan Cekungan Bandung memungkinkan untuk direplikasi sebagai model penerapan KLHS berbasis partisipasi masyarakat.
Kegiatan percontohan di Ciayumajakuning-gardang dan Cekungan Bandung dirancang untuk menjadi asupan bagi perumusan Peraturan Gubernur (PerGub), Perda (Peraturan Daerah) dan rumusan RTRW bagi pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air.
Sementara itu percontohan di Kartamantul ataupun Kota Bima, yang juga memfokuskan pada masalah pengelolaan sumber daya air menggunakan pendekatan yang lebih konvensional dalam mengkaji hasil kerja KLHS. Contoh terakhir merupakan kegiatan penilaian terhadap hasil penerapan KLHS. Dalam menilai hasil KLHS di Kartamantul dan di Kota Bima digunakan kerangka kriteria yang dikembangkan oleh IAIA (International Association for Impact Assessment). Hasil KLHS dan reviewnya dapat dimanfaatkan untuk proses penguatan rumusan RTRW yang sedang dalam proses legislasi.
Sejumlah hambatan ditemui saat pelaksanaan pilot dimasing-masing daerah pilot. Hambatan yang utama dari pelaksanaan KLHS ini disebabkan oleh:
1.      Tidak mudahnya menyusun jadwal keterlibatan stakeholders (para pemangku-jabatan) dalam satu kelompok diskusi.
2.      Belum seragamnya pemahaman dan manfaat konsep KLHS 3. KLHS baru diterima secara terbatas dan belum sepenuhnya diakomodir dalam Acuan Kerja (berupa ToR) operasional di tingkat Pemerintah Daerah. 
Dari pelaksanaan pilot project di tahun 2008 banyak hal patut diapresiasi. Di D.I Yogyakarta, Pemerintah Provinsi berinisiatif melaksanakan kajian lingkungan hidup strategic bagi perbaikan proses perencanaan pembangunan. Inisiasi ini tidak berhenti pada tahapan penapisan (screening) dan pelingkungan (scooping), namun juga berlanjut pada tahapan selanjutnya. Hasil kajian KLHS telah dipaparkan kepada Gubernur DIY. Pada Tahun Anggaran 2009, KLHS diperluas untuk Kulonprogo dan Gunung Kidul dan telah dianggarkan melalui alokasi anggaran Propinsi.
Inisiasi pilot project di Kota Bima berasal dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) regional Bali Nusa Tenggara. Kegiatan pilot ini tidak hanya dimanfaatkan untuk menguji coba instrumen KLHS, akan tetapi dipergunakan juga untuk mensosialisasikan penggunaan instrumen serta membangun kapasitas internal PPLH 
Sedangkan bagi Kota Bima, mendapatkan manfaat langsung dalam perbaikan perencanaan pembangunan mereka serta mendapatkan pendampingan dan alih pengetahuan dari para ahli nasional.
Dalam pelaksanaan pilot project Ciayumajakuninggardang dan Cekungan Bandung, pemerintah propinsi sangat berkomitmen untuk mendampingi dan mensosialisasikan proses dan hasil kajian. Untuk tindak lanjut, pemerintah propinsi telah berkomitmen untuk meneruskan proses ini sampai penerbitan SK Gubernur dan memfasilitasi dan mendampingi pemerintah kota/kabupaten dalam mengoperasionalisasikan KRP mengenai pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air.
Penutup
Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA)

Interpretasi dan Ekowisata