Pemerintahan Indonesia Pasca Reformasi
Pemerintahan Indonesia Pasca Reformasi
Latar
Belakang
Undang-Undang dasar 1945 telah
mengalami perubahan-perubahan mendasar
sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002.
Perubahan-perubahan ituj juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga
mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi
muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami
perubahan, kini jumlah materi muatan UUD
1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun
namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi
dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan
Konstitusi baru sama sekali dengan nama
resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehubungan dengan itu penting
disadai bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945
itu telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar.
Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi struktur dan mekanisme structural
organ-organ negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut
cara berpikir lama. Banyak pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam
kerangka UUD 1945 itu. Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya
citademokrasi dan Disampaikan dalam symposium Nasional yang dilakukan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional, (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and
balances’ (c) pemurnian sistem pemerintah presidential; dan (d) pengeuatan cita
persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
CITA DEMOKRASI
DAN NOMOKRASI
Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan rakyat atau democratie (democracy). Pemilik kekuasaan tertinggi
dalam negara adalah rakyat. Kekuasaan yang sesungguhnya adalah berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan bahkan diidealkan diselenggarakan
bersama-sama dengan rakyat. Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar,
pelaksanaannya kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut
prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi
(constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie)
dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan
sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar
negara kita menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah
Negara Hukum yang demokrasi (democratische rechtstaat) dan sekaligus adalah
Negara Demokrasi yang berdasarkan atau hukum (constitutional democracy) yang tidak
terpisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat (democratie)
Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan.
Secara langsung, kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan
yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; presiden dan wakil presiden ;
dan kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusidan Mahkamah
Agung. Dalam menetukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur
ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-Undang dasar dan Undang-Undang (fungsi
Legislatif), serta dalam menajlankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)
terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan
melalui sistem perwakilan. Yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah propinsi dan
kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui
sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara
langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum untuk memlih
anggota lembaga perwakilan dan memilih Presiden dan Wakil presiden. Disamping
itu, kedaulatan rakyat dapat pula disalurkan setipa waktu melalui pelaksanaan
hak dan kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebasan
informasi, kebebasan pers, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat
serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun,
prinsip kedaulatan rakyat yang bersifat langsung itu hendaklah dilakukan
melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan prosedur demokrasi (procedural
democracy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan
daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga dapat memperkuat
sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi Konstitusional) dan
prinsip negara hukum yang demokratis tersebut di atas.
Bersamaan dengan itu, negara
Indonesia juga disebut sebagai Negara Hukum (Rechtstaat), bukan Negara
Kekuasaan (Machtstaat). Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan
terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan
dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam
Undang-Undang dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang
menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan
bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang
berkuasa. Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu, pada hakikatnya hukum itu
sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi
(nomcrasy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’. Dalam kerangka ‘the
rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan
tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah
(equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya
dalam kenyataan praktek (due process of law).
Namun demikian, harus pula ada
jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip
demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada
pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum
hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat,
ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan
belaka (Machtstaat). Prinsip Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada hakikatnya
merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi. Bahkan,
dalam sistem presidensil yang dikembangkan, konstitusi itulah yang pada
hakikatnya merupakan Kepala Negara Republik Indonesia yang bersifat simbolik
(symbolic head of state), dengan keberadaan Mahkamah Konstitusisebagai
penyangga atau ‘the guardian of the Indonesian constitution’.
Ketentuan mengenai cita-cita negara
hukum ini secara tegas dirumuskan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan: ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’, sebelum ini, rumusan naskah
asli UUD 1945 tidak mencantumkan ketentuan mengenai negara hukum ini, kecuali
hanya dalam penjelasan UUD 1945 yang menggunakan istilah ‘rechtsstaat’. Rumusan
eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum baru terdapat dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950. Untuk mengatasi kekuarangan itulah maka dalam perubahan ketiga UUD 1945,
ide negara hukum (rechtstaat atau the rule of law) itu diadopsikan secara tegas
ke dalam rumusan pasal UUD, yaitu pasal 1 ayat (3) tersebut diatas. Sementara
itu, ketentuan mengenai prinsip kedaulatan rakyat terdapat dalam pembukaan dan
juga pada pasal 1 ayat (2). Cita-cita kedaulatan tergambar dalam pembukaan UUD
1945, terutama dalam rumusan alinea IV tentang dasar negara yang kemudian
dikenal dengan sebutan Pancasila. Dalam alinea ini, cita-cita kerakyatan
dirumuskan secara jelas sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sedangkan dalam rumusan pasal
1 ayat (2), semangat kerakyatan itu ditegaskan dalam ketentuan yang menegaskan
bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
PEMISAHAN
KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES
Prinsip kedaulatan yang berasal
dari rakyat tersebut di atas selama ini hanya diwujudkan dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya
kedaulatan rakyat, dan yang diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan
kekuasaan yang tidak terbatas. Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu
dibagi-bagikan secara vertikal ke dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang
berada dibawahnya. Karena itu, prinsip yang dianut disebut sebagai prinsip
pembagian kekuasaan (distribution of power). Akan tetapi, dalam Undan-Undang
dasar hasil perubahan, prinsip kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan
secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip ‘checks
and balaces’.
Cabang kekuasaan legislatif tetap
berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi majelis ini terdiri dari dua
lembaga perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Untuk
melengkapi pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, disamping lembaga legislatif
dibentuk pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada
ditangan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran kepada
Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung. Sedangkan
cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat
tetap merupakan rumah penjelmaan seluruh rakyat yang strukturnya dikembangkan
dalam dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Oleh karena itu, prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah harus dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam
Dewan Perwakilan Rakyat.
Maksudnya ialah agar seluruh
aspirasi rakyat benar-benar dapat dijelmakan ke dalam Majelis Perusyawaratan
Rakyat yang terdiri dari dua pintu. Kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat
yang terdiri dari dua lembaga perwakilan itu itu adalah sederajad dengan
Presiden dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol
satu sama lain sesuai dengan prinsip ‘Check and balances’ Dengan adanya prinsip
‘Check and balances’ ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan
bahkan dikontrol dengan sesebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan
oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah
dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Pasal-pasal yang dapat dianggap
mencerminkan perubahan tersebut antara lain adalah perubahan ketentuan pasal 5,
terutama ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang secara
jelas menentukan bahwa fungsi legislatif ada pada Dewan Perwakilan Rakyat,
sedangkan Presiden adalah kepala eksekutif. Disamping itu, ada pula ketentuan
mengenai kewenangan MPR yang tidak lagi dijadikan tempat kemana presiden harus
bertanggungjawab atau menyampaikan pertanggung-jawaban jabatannya. Selain itu,
ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan untuk melakukan
pengujian atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar seperti ditentukan
dalam pasal 24 ayat (1) juga mencerminkan dianutnya asas pemisahan kekuasaan
dan prinsip ‘check and balances’ antara cabang kekuasaan legislatif dan
yudikatif. Ketiga ketentuan itu memastikan tafsir berkenaan dengan terjadinya
pergeseran MPR dari kedudukannya sebagai lembaga tertinggi menjadi lembaga yang
sederajat dengan Presiden berdasarkan pemisahan kekuasaan dan prinsip ‘check
and balances’.
SISTEM
PEMERINTAHAN PRESIDENSIL
Negara Indonesia merupakan negara
yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Komposisi penduduknya sangat
beragam, baik dari suku bangsa, etnisitas, anutan agama, maupun dari segi-segi
lainnya. Wilayahnya pun sangat luas, terdiri atas lebih dari 17.000-an pulau besar
dan kecil, dan sebagian terbesar terpencil dari kehidupan ramai. Kompleksitas
dan keragaman itu sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik
dalam masyarakat, sehingga tidak dapat dihindari keharusan berkembangnya sistem
multi-partai dalam sistem demokrasi yang hendak dibangun. Agar peta konfigurasi
kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat tersebut dapat disalurkan dengan
sebaik-baiknya menurut prosedur demokrasi (procedural democracy), berkembang
keinginan agar sistem pemerintahan yang dibangun adalah sistem Parlementer
ataupun setidak-tidaknya varian dari sistem pemerintahan parlementer.
Namun, terlepas dari kenyataan
bahwa sistem parlementer pernah gagal dipraktekkan dalam sejarah Indonesia
modern di masa lalu, dan karena itu membuatnya kurang populer di mata
masyarakat, realitas kompleksitas keragaman kehidupan bangsa Indonesia seperti
tersebut diatas, justru membutuhkan sistem pemerintahan yang kuat dan stabil.
Jika kelemahan sistem presidentil yang diterapkan dibawah Undang-Undang Dasar
1945 yang cenderung sangat “ executive heavy” sudah dapat diatasi melalui
pembaharuan mekanisme ketatanegaraan yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar
ini, maka ekses-ekses atau efek samping dalam prakek penyelenggaraan sistem
pemerintahan Presidentil seperti selama ini terjadi tidak perlu dikhawatirkan
lagi. Keuntungan sistem presidentil justru lebih menjamin stabilitas
pemerintahan. Sistem ini juga dapat dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem
multi-partai yang dapat mengakomodasikan peta konfigurasi kekuatan politik
dalam masyarakat yang dilengkapi pangaturan konstitusional untuk mengurangi
dampak negatif atau kelemahan bawaan dari sistem presidentil tersebut. Dalam
sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu:
1. Presiden
dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif
negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. Dalam sistem ini tidak
dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan.
Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan
negara, kekuasaan dan tanggungjawab politik berada ditangan Presiden
(concentration of power and responsibility upon the President).
2.
Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik
tidak bertanggungjawab kepada Majelis permusyawaratan Rakyat atau lembaga
parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya.
3.
Presiden dan / atau
Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggung-jawabannya secara hukum apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum konstitusi. Dalam
hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut
pertanggungjawaban oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk disidangkan dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yaitu sidang gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, sebelum diberhentikan, tuntutan
pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden yang didasarkan atas tuduhan
pelanggaran atau kesalahan, terlebih dulu harus dibuktikan secara hukum melalui
proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. Jika tuduhan bersalah itu dapat
dibuktikan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi, barulah atas dasar itu, MPR
bersidang dan secara resmi mengambil putusan pemberhentian.
4.
Para Menteri adalah
pembantu Presiden, Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan karena
bertanggung-jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggungjawab kepada
parlemen. Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen. Disamping itu, para
Menteri itulah yang pada hakikatnya merupakan para pemimpin pemerintahan dalam
bidang masing-masing. Karena itu, kedudukannya sangat penting dalam menjalankan
roda pemerintahan;
5. Untuk
membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidentil sangat kuat
sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas peerintahan, ditentukan pula
bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang
sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa badan atau lembaga
negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula
independensinya dalam menjalankan tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif
yang dimaksud adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan
Kejaksaan Agung sebagai aparatur penegakan hukum, dan Tentara Nasional
Indonesia sebagai aparatur pertahanan negara. Meskipun keempat lembaga tersebut
berada dalam ranah eksekutif, tetapi dalam menjalankan tugas utamanya tidak
boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik pribadi Presiden. Untuk menjamin hal
itu, maka pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Bank
Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan Panglima Tentara Nasional
Indonesia hanya dapat dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan
tersebut tanpa didahului dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat
dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan terbukti bersalah dan karena
itu dihukum berdasarkan vonis pengadilan yang bersifat tetap karena melakukan
tindak pidana menurut tata cara yang diatur dengan Undang-Undang.
CITA PERSATUAN
DAN KERAGAMAN DALAM NKRI
Prinsip persatuan dibutuhkan karena
kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat majemuk. Keragaman suku bangsa, agama,
dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah mengharuskan
bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman. Keragaman
merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak boleh
disatukan atau diseragamkan (uniformed). Karena itu, prinsip persatuan
Indonesia tidak boleh diindentikkan dengan atau dikacaukan atau dikaitkan
dengan istilah kesatuan yang berkenaan dengan persoalan bentuk bangsa. Prinsip
persatuan juga tidak boleh dipersempit maknamya ataupun diindentikkan dengan
pengertian pelembagaan bentuk Negara Kesatuan yang merupakan bangunan negara
yang dibangun atas motto ‘Bhineka–Tunggal–Ika’ (Unity in Diversity). Bentuk
negara kita adalah Negara Kesatuan (Unitary State), sedangkan persatuan
Indonesia adalah prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas dasar
persatuan (unity), bukan kesatuan (uniformiy).
Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah merupakan ‘negara persatuan’ dalam arti sebagai negara yang warga
negaranya erat bersatu, yang mengatasi segala paham perseorangan ataupun
golongan yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan
hukum dan pemerintahan dengan tanpa kecuali. Dalam negara persatuan itu,
otonomi individu diakui kepentingannya secara seimbang dengan kepentingan
kolektivitas rakyat. Kehidupan orang per orang ataupun golongan-golongan dalam
masyarakat diakui sebagai individu dan kolektivitas warga negara, terlepas dari
ciri-ciri khusus yang dimiliki seseorang atau segolongan orang atas dasar
kesukuan dan keagamaan dan lain-lain, yang membuat seseorang atau segolongan
orang berbeda dari orang atau golongan lain dalam masyarakat. Negara persatuan
mengakui keberadaan masyarakat warga negara karena kewargaanya (civility).
Dengan demikian, negara persatuan itu mempersatukan seluruh bangsa Indonesia
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena prinsip kewargaan yang
bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Namun, konsepsi negara
persatuan itu sering disalah-pahami seakan-akan bersifat ‘integralistik’, yang
mempersatukan rakyat secara totaliter bersama-sama dengan pemimpinnya seperti
konsepsi Hitler yang didasarkan atas pandangan Hegel tentang negara Jerman.
Istilah negara persatuan cenderung dipahami sebagai konsepsi atau cita negara
(staatsidee) yang bersifat totaliter ataupun otoritarian yang mengabaikan
pluralisme dan menafikkan otonomi individu rakyat yang dijamin hak-hak dan
kewajiban asasinya dalam Undang Undang Dasar. Oleh karena itu, untuk tidak
menimbulkan salah pengertian, istilah persatuan itu harus dikembalikan
kepada bunyi rumusan sila ketiga
Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, bukan “Persatuan dan Kesatuan
Indonesia” apalagi “Kesatuan Indonesia”.
Persatuan adalah istilah filsafat dan prinsip bernegara, sedangkan kesatuan
adalah istilah bentuk negara yang bersifat teknis. Bandingkan antara rumusan
Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dan rumusan pasal 1 ayat (1) yang
menyatakan: “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.
Negara Kesatuan adalah konsepsi tentang bentuk negara, dan Republik adalah
konsepsi mengenai bentuk pemerintahan yang dipilih dalam kerangka UUD 1945.
Indonesia adalah negara yang
berbentuk Negara Kesatuan (unitry state). Kekuasaan asal berada di pemerintah
pusat. Namun kewenangan (authority) pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya
dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang ditentukan sebagai kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah. Hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah
pusat dan pemerintah Daerah Propinsi serta pemerintah Daerah Kabupaten dan
Kota, tidak diatur berdasarkan asas
dekonsentrasi, melainkan hanya didasarkan atas asas otonomi atau desentralisasi
dan tugas perbantuan (medebewin). Disamping itu, dalam rumusan pasal 18, pasal
18A dan pasal 18B (seluruhnya sebanyak 11 ayat), ditegaskan pula adanya
pengakuan atas pluralisme di berbagai daerah. Pasal 18A ayat (1), misalnya
menegaskan: “Hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
propinsi, kabupaten dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota diatur
dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah,
pasal 18B ayat (1) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-Undang”. Pasal 18B ayat (2) menegaskan: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang”.
Dengan ketentuan-ketentuan
konstitusional demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia
diselenggarakan dengan pengaturan antar daerah yang tidak seragam antara satu
sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan daerah atau daerah propinsi dengan
kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti
propinsi Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin agar seluruh bangsa
Indonesia benar-benar bersatu dengan keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan.
Prinsip keadilan antar pusat dan propinsi dan daerah kabupaten/kota juga makin
terjamin. Otonomi dan kebebasan rakyat dihadapan jajaran pemerintah pusat dan daerah
juga makin tumbuh dan berkembang sesuai prinsip demokrasi. Untuk itu, susunan
Negara Kesatuan dengan pengaturan yang bersifat khusus atau otonomi khusus
dikembangkan sebagaimana mestinya dengan memperhatikan perbedaan tingkat
kemampuan antar daerah diseluruh Indonesia. Karena itu, pelaksanaan otonomi
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan yang memungkinkan adanya pengaturan
khusus berupa daerah otonomi khusus itu hendaklah dilaksanakan secara
sistematis dan bertahap, daerah-daerah yang belum atau tidak dapat
melaksanakannya, perlu diberi kesempatan mempersiapkan diri. Daerah-daerah juga
tidak perlu memaksakan diri untuk secepat mungkin menerapkan kebijakan otonomi
daerah yang seluas-luasnya dengan meninggalkan sama sekali atau mengabaikan
prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan asas
dekonsentrasi. Pemerintah pusat bertanggungjawab menyukseskan pelaksanaan
otonomi daerah yang dilakukan secara bertahap itu. Disamping itu, meskipun
susunan pemerintahan bersifat desentralistis, tetapi pemerintah pusat tetap
memiliki kewenangan koordinasi antar daerah propinsi, dan pemeritah daerah
propinsi memiliki kewenangan koordinasi antar daearah kabupaten/kota
sebagaimana mestinya.
FORMAT BARU
PARLEMEN TIGA KAMAR: MPR, DPR, DAN DPD
1.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Semula, Majelis Permusyawaratan
Rakyat kita dirancang untuk diubah menjadi nama ‘genus’ dari lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama
disebut Dewan Perwakilan Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan
Daerah. Sebagai perbandingan, prinsip yang sama dapat kita temukan dalam
konstitusi Amerika Serikat yang mementukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada
di Kongres yang terdiri atas ‘The House
of Representatives and Senate’. Memang, anggota senat bisa disebut Senator
sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau ‘House of Representatives’ biasa
disebut ‘Congressman’Akan tetapi, sesungguhnya, baik anggota Senat maupun
anggota DPR Amerika Serikat itu sama-sama merupakan anggota Kongres . Akan
halnya nanti dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah, pada hakikatnya mereka adalah anggota MPR, tetapi secara
sendiri-sendiri mereka juga dapat dibedakan antara anggota DPR atau anggota
DPD. Demikian pula dalam konstitusi Kerajaan Belanda dikatakan bahwa kekuasaan
legislatif berada di ‘Staten Generaal’ yang terdiri atas “Eerste Kamer en
Tweede Kamer”Keanggotaan dalam masing-masing kamar parlemen Belanda ini
tidaklah mengurangi pengertian bahwa pada hakikatnya mereka juga anggota
‘Staten Generaal’.
Namun demikian, setelah perubahan
Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga
tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar,
akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat
disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar
(trikameralisme), perubahan-perubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen
Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama,
susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya
keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional
(functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian,
anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional
representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural
tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional).
Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki
kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun
mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR
memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:
a. menetapkan
Undang-Undang Dasar & mengubah Undang-Undang Dasar,
b.
menetapkan Garis-Garis
Besar Haluan Negara,
c.
memilih Presiden dan Wakil
Presiden,
d.
meminta dan menilai
pertanggungjawaban Presiden,
e. memberhentikan
Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945,
kewenangan MPR berubah menjadi:
a. menetapkan
Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
b.
melantik Presiden dan
Wakil Presiden,
c.
memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, serta
d. menetapkan
Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Ketiga,
diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara
fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal
20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan
tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan
bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden
sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan
sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak
lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem
pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke
lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh
rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang
sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan
presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu,
maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan
rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi
legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan
dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket
kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara,
dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang
terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara
bersama-sama kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta
dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, seperti dikemukakan diatas,
lembaga MPR pada pokoknya menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat
tetap berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan
mengenai pengaturan UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang
demikianlah ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut
ketentuan pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal
8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden,
selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil
presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya
menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden
secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR bersidang
untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen: ‘yang’) terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilu sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3), pasal 7A dan 7B,
MPR juga berwenang untuk mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud oleh
pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945. dengan adanya kewenangan yang demikian
itu maka dapat dipahami bahwa MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri
disamping DPR dan DPD. Dengan demikian, meskipun didunia hanya dikenal adanya
struktur parlemen unicameral dan bicameral, UUD 1945 memperkenalkan sistem
ketiga, yaitu parlemen trikameral atau trikameralisme.
2.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga
ini semula didesain sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Akan
tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila
kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif
sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak
mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan
pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR,
bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut
sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa jika
kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat
bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama
kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945
pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut tidak dapat
disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama
kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’
sekalipun.
DPD, menurut ketentuan pasal 22D
a. dapat
mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1),
b.
ikut membahas rancangan
UU tertentu (ayat 2),
c.
memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2),
d. dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain,
DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga
DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya
hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
Ironisnya, mekanisnme pengisian
jabatan keanggotaan DPD ini lebih berat bila dibandingkan dengan mekanisme
pengisian keanggotaan DPR. Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi melalui
pemilu (pasal 22c ayat 1), anggota DPD dari tiap propinsi jumlahnya sama dan
seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (ayat 2).
Jika ditentukan bahwa dari setiap propinsi jumlahnya 4 orang, maka seseorang
yang ingin menduduki kursi DPD harus bersaing di tingkat propinsi untuk
memperebutkan 4 kursi. Misalnya saja, di Jawa Timur, satu kursi anggota DPD
membutuhkan dukungan suara sekitar 5,5 juta pemilih, sedangkan untuk menjadi
anggota DPR cukup dibutuhkan sekitar 550 ribu suara pemilih. Disamping itu,
peserta pemilu menjadi anggota DPD adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu
untuk DPR adalah partai politik. Artinya, dapat terjadi tokoh perorangan yang
akan tampil sebagai calon anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam
menggalang dukungan bagi dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup
memanfaatkan struktur partai politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara
dalam pemilihan umum. Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi
anggota perwakilan ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat
terbatas. Karena itu, banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang
demikian.
Tentu ada juga argumen sebaliknya
yang cenderung lebih optimis. Justru karena kewenangannya yang terbatas itu
menyebabkan DPD dapat terhindar dari sasaran kritik dari masyarakat madani
(civil society), asalkan para anggota DPD dapat terbuka. Karena pusat kewenangan
untuk memutuskan atas nama rakyat dan untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada
di DPR, maka DPR-lah yang akan menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila
aspirasi rakyat tidak sungguh-sungguh disalurkan. Dengan demikian, para anggota
DPD dapat bermain ditengah gelombang aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan
memihak kepada rakyat didaerah-daerah. Karena itu, bagi para politisi muda, DPD
dapat menjadi wadah baru untuk aktualisasi diri dan forum pelatihan
kepemimpinan politik yang efektif untuk masa depan. Oleh karena itu, ditengah
kritik dan kekecewaan atas pengaturan yang sangat mengecil arti lembaga
perwakilan daerah ini, masih tersisa optimisme yang cukup menjanjikan untuk
penataan sistem politik nasional ke depan.
3.
Dewan
Perwakilan Rakyat
Berdasarkan ketentuan UUD 1945
pasca Perubahanan Keempat, fungsi legislatif berpusat di tangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang
baru yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan
Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang
telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat 4), dan
“dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang
dan wajib diundangkan”.
Dari ketentuan pasal 20 itu dapat
dipahami bahwa: Pertama, lembaga legislasi atau legislator adalah DPR, bukan
Presiden dan apalagi DPD; Kedua, Presiden adalah lembaga yang mengesahkan
rancangan Undang-Undang yang telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat
paripurna DPR resmi menjadi Undang-Undang; Ketiga, rancangan Undang-Undang yang
telah resmi SAH menjadi Undang-Undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya;
Keempat, setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Dalam hal
rancangan Undang-Undang berasal dari inisiatif DPR, maka Institusi DPR sebagai
satu kesatuan akan berhadapan dengan Presiden sebagai satu kesatuan institusi
yang dapat menolak usul inisiatif DPR itu seluruhnya ataupun sebagian
materinya. Dalam hal demikian maka rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh
DPR itu tidak dapat lagi diajukan dalam persidangan DPR masa itu. Posisi
Presiden dan DPR dalam hal ini dapat dikatakan saling berimbang. Di satu pihak,
dalam proses pembahasan materi rancangan Undang-Undang, posisi
Presiden/pemerintah lemah karena harus berhadapan dengan DPR sebagai satu kesatuan
institusi. Dalam hal ini, Presiden tidak dapat lagi memanfaatkan dukungan
partai politiknya sendiri yang ada di DPR untuk mendukung kebijakan Pemerintah
mengenai materi rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas. Akan tetapi,
dipihak lain, Presiden/Pemerintah mempunyai posisi yang kuat karena dapat
mem-‘veto’ dengan cara menolak untuk memberikan persetujuan atas sesuatu materi
ataupun keseluruhan materi Undang-Undang yang bersangkutan.
Kelima, dalam hal rancangan
Undang-Undang itu datang dari Presiden, maka seperti terhadap rancangan
Undang-Undang inisiatif DPR, pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama
untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam hal ini, yang berhak menolak
seluruhnya ataupun sebagiannya adalah DPR sebagai institusi. Jika rancangan itu
ditolak seluruhnya oleh DPR, maka rancangan Undang-Undang itu juga tidak dapat
lagi diajukan dalam persidangan DPR masa yang bersangkutan. Dalam forum
pengambilan putusan oleh DPR dapat terjadi bahwa sesuatu materi ataupun seluruh
materi rancangan Undang-Undang yang bersangkutan diputuskan dengan pemungutan
suara dapat rapat paripurna DPR. Dalam hal demikian, Presiden/pemerintah tidak
mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Maka dapat dikatakan bahwa dalam hal ini
DPR mempunyai kedudukan yang lebih kuat daripada Presiden/Pemerintah, karena
DPR-lah yang memutuskan, bukan Presiden. Jika sebagian materi rancangan
Undang-Undang itu, tidak mendapat DPR berarti materi yang bersangkutan harus
dikeluarkan dari rancangan Undang-Undang yang bersangkutan, dan secara a
contrario, juga tidak dapat diajukan lagi untuk diatur dengan atau dalam
Undang-Undang lain dalam persidangan DPR masa itu.
Keenam, setelah suatu rancangan
Undang-Undang mendapat persetujuan bersama yang ditandai oleh pengesahannya
dalam rapat paripurna DPR, maka rancangan Undang-Undang yang bersangkutan
secara substantif atau secara material telah menjadi Undang-Undang, tetapi
belum mengikat umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan
sebagaimana mestinya. Karena, RUU yang telah mendapat persetujuan dalam rapat
paripurna DPR itu secara materiel tidak dapat diubah meskipun Presiden tidak
menyetujui isinya. RUU akan berubah menjadi resmi mengikat umum semata-mata
karena
a. faktor
pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-Undang itu,
dan
b. faktor
tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan Undang-Undang
tersebut dalam rapat paripurna DPR.
Dengan demikian, secara materiel,
proses pembentukan Undang-Undang telah selesai (final) dengan telah diambilnya
putusan dalam rapat paripurna DPR yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang
telah dibahas bersama. Karena itu, dapat dibedakan adanya dua instansi
pengesahan suatu rancangan Undang-Undang, yaitu pengesahan materiel oleh DPR
dan pengesahan formil oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(4) UUD 1945. Tindakan pengesahan materiel itu dilakukan melalui pengembilan
putusan akhir oleh DPR atas suatu rancangan Undang-Undang dalam persidangan
atau rapat paripurna DPR, sedangkan tindakan pengesahan formil dilakukan oleh
Presiden dengan cara membubuhkan tandatangan pada bagian akhir naskah
Undang-Undang. Selanjutnya, atas perintah Presiden, Undang-Undang yang
bersangkutan diundangkan dengan cara menempatkannya dalam registrasi Lembaran
Negara dengan memberikan nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris
Negara, dan penerbitan Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya.
Soal Persetujuan Bersama:
Berkenaan dengan unsur ‘persetujuan
bersama’ yang seharusnya tercermin dalam keputusan akhir yang diambil dalam
rapat paripurna DPR, selintas memang dapat dikatakan mengandung kontradiksi
tersendiri. Di satu pihak, putusan akhir DPR tersebut sudah mengandung
pengertian ‘persetujuan bersama’ tersebut. Tetapi, adanya ketentuan pasal 20
ayat (5) yang menyatakan “Dalam Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden....” Menunjukkan bahwa ada
kemungkinan suatu rancangan Undang-Undang yang secara materiel telah disahkan
oleh DPR tersebut tidak disahkan secara formil oleh Presiden. Alasan Presiden
menolak mengesahkannya, bisa saja karena pertimbangan bahwa materi
Undang-Undang yang bersangkutan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Karena
itu, kualitas rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan akhir terhadap
rancangan Undang-Undang tersebut dapat dibedakan antara rancangan Undang-Undang
yang berasal dari DPR atau berasal dari Presiden/Pemerintah. Jika rancangan
Undang-Undang datang dari Presiden, maka pengambilan keputusan akhir dalam
rapat paripurna DPR adalah mutlak pengambilan keputusan oleh DPR dimana
Presiden tidak mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Tetapi, jika rancangan Undang-Undang
datang dari inisiatif DPR, maka posisi Presiden dapat menolak atau menerima
sebagian atau keseluruhan, sehingga kedudukan Presiden lebih kuat. Kasus dimana
suatu rancangan Undang-Undang telah disetujui bersama dalam rapat paripurna
DPR, tetapi Presiden tidak puas dan karena itu menolak untuk mengesahkannya
dapat terjadi jika rancangan Undang-Undang tersebut datangnya dari pemerintah
sebagaimana diuraikan di atas.
Penandatanganan Undang-Undang :
Berkenaan dengan penandatangan
naskah Undang-Undang oleh Presiden seperti dimaksud oleh pasal 20 ayat (5) UUD
1945, haruslah dipahami sebagai kewajiban administratif Presiden untuk
membubuhkan tandatangan. Karena itu pasal 20 ayat (4) menegaskan bahwa
“Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang”. Artinya, tanpa disahkan oleh Presiden, rancangan
Undang-Undang tersebut tidak berubah statusnya menjadi Undang-Undang. Rancangan
Undang-Undang tersebut baru berubah statusnya menjadi Undang-Undang setelah oleh
Presiden disahkan sebagaimana mestinya. Pada akhir anak kalimat pasal 20 ayat
(5) dinyatakan,”...rancangan Undang-Undang tersebut itu menjadi Undang-Undang,
baik karena telah disahkan oleh Presiden dengan cara membubuhkan
tandatangannya, ataupun karena telah dilampaui tenggat 30 hari seperti dimaksud
dalam pasal 20 ayat (5) tersebut. Karena itu, timbul dua penafsiran berkenaan
dengan ini. Pertama,apabila rancangan Undang-Undang tersebut telah disahkan
oleh Presiden dengan tandatanganya, maka atas dasar itu Sekretariat Negara
melaksanakan kewajiban untuk mengundangkannya sebagaimana mestinya. Kedua, jika
rancangan Undang-Undang itu tidak disahkan oleh Presiden, maka ukuran yang
pasti adalah tanggal, yaitu setelah 30 hari sejak mendapat persetujuan bersama
dalam rapat paripurna DPR, maka rancangan Undang-Undang itu sudah dengan
sendirinya sah menjadi Undang-Undang. Karena itu, Presiden merasa tidak perlu
lagi menandatangani naskah Undang-Undang itu sebagaimana seharusnya. Atas dasar
keabsahan Undang-Undang dengan prosedur kedua inilah maka Sekretaris Negara
merasa berkewajiban menurut ketentuan pasal 20 ayat (5) dan sekaligus berhak
untuk mengumandangkan Undang-Undang tersebut sebagaimana mestinya. Akibatnya,
format Undang-Undang yang berkepala surat dan bersubyek. “Presiden Republik
Indonesia”, tetapi subyek yang menandatanganinya adalah Sekretariat Negara yang
mempunyai kedudukan sebagai pembantu Presiden. Timbul kesan bahwa Sekretariat
Negara yang mengesahkan rancangan Undang-Undang itu menjadi Undang-Undang,
sehingga timbul pula pertanyaan apa alas hak bagi seorang pembantu untuk atas
nama Presiden mengesahkan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (4).
Oleh karena itu, pengertian yang
lebih tepat untuk dikembangkan sehubungan dengan soal penandatanganan
Undang-Undang adalah bahwa Presiden wajib mengesahkan rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 20 ayat (4). Karena itu, format naskah Undang-Undang tetap
dipertahankan agar berkepala surat “Presiden Republik Indonsia”, bukan “Dewan
Perwakilan Rakyat”. Seharusnya karena pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa “DPR
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Maka kop surat Undang-Undangpun
diubah menjadi “Dewan Perwakilan Rakyat”. Akan tetapi, karena pasal 20 ayat (4)
menyatakan Presidenlah yang mengesahkan rancangan Undang-Undang menjadi
Undang-Undang , maka kop suratnya masih tetap dapat dipertahankan dengan subyek
“Presiden Republik Indonesia”. Akan tetapi, akibatnya, ketentuan pasal 20 ayat
(4) tersebut diatas harus dipahami sebagai kewajiban bagi Presiden untuk
mengesahkan rancangan Undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang. Atas dasar
pengesahan oleh Presiden itulah maka Undang-Undang tersebut diundangkan
sebagaiman mestinya, dan atas dasar perintah dari Presiden pula, Sekretariat
Negara sebagai pembantu Presiden menjalankan kewajiban yang ditentukan dalam
pasal 20 ayat (5) untuk mengundangkan Undang-Undang tersebut sebagaimana
seharusnya.
Dari Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang:
Seperti dikemukakan diatas, sejak
diambilnya keputusan akhir dalam rapat paripurna DPR, rancangan Undang-Undang
yang bersangkutan dianggap telah mendapat persetujuan bersama, meskipun dalam
hubungannya dengan rancangan Undang-Undang yang berasal dari pemerintah
sifatnya sangat relatif. Setelah itu, secara materiel rancangan Undang-Undang
yang bersangkutan sudah dapat dianggap final, tidak dapat diubah lagi, bahkan
oleh Presiden sekalipun. Oleh karena itu, rancangan Undang-Undang dimaksud,
meskipun belum disahkan secara resmi atau secara formil oleh Presiden, pada
hakikatnya sudah menajdi Undang-Undang secara materiel. Dengan demikian, status
naskah rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama dalam forum DPR itu
sebenarnya telah disahkan secara materiel oleh DPR. Karena itu, meskipun
kadang-kadang masih disebut sebagai RUU, statusnya tidak lagi sama dengan RUU
ketika masih dalam pembahasan di DPR atau apalagi dengan RUU ketika belum
dibahas di DPR. Dengan perkataan lain, menurut Undang-Undang menurut
tahap-tahap pembuatannya.
Sampai pada tahap pambahasan di
DPR, status rancangan Undang-Undang tersebut adalah rancangan Undang-Undang
(RUU), tetapi setelah disahkan oleh Presiden RUU tersebut berubah statusnya
menjadi UU. Sedangkan statusnya sebelum disahkan oleh Presiden tetapi telah
disahkan secara materiel oleh DPR, berada di antara keduanya. Statusnya tidak
dapat lagi disamakan dengan RUU pada tahap sebelumnya tetapi belum dapat
dikatakan menjadi UU yang mengikat untuk umum karena belum disahkan sebagaimana
mestinya. Secara materiel ia sudah menjadi UU tetapi secara formil belum.
Pentingnya pembedaan ini karena adanya ketentuan mengenai tenggang waktu 30
hari yang ditentukan dalam pasal 20 ayat (5). Jika tenggat 30 hari itu terlampaui
maka RUU yang sudah mempunyai status sebagai Undang-Undang secara materiel itu
berubah status dengan sendirinya menjadi Undang-Undang yang berlaku secara
materiel dan formil sekaligus. Lalu apakah arti angka 30 hari itu bagi
Presiden? Jika tidak berbuat apa-apa, maka meskipun ia tidak menyetujui isinya,
rancangan Undang-Undang yang telah disahkan secara materiel oleh DPR tersebut
akan berlaku dengan sendirinya menjadi Undang-Undang. Oleh sebab itu, menurut
pendapat saya, untuk memberi arti pada tenggat 30 hari itu bagi Presiden, dapat
saja dipahami bahwa rancangan Undang-Undang yang telah disahkan secara materiel
oleh DPR tersebut meskipun belum disahkan oleh Presiden selama masih tenggat 30
hari, sudah dapat ditafsirkan bahwa Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan
pasal 24C ayat (1) dapat melakukan pengujian atas “Undang-Undang” yang sudah
disahkan secara materiel oleh DPR tetapi belum disahkan secara formil oleh
Presiden itu sebagaimana mestinya. Pihak-pihak yang dapat diberi hal untuk
menjadi pemohon dalam kasus pengujian Undang-Undang menurut prosedur “control a
priore” atau “judicial preview” ini adalah Presiden, DPD ataupun kelompok
anggota minoritas di DPR.
BADAN
PEMERIKSA KEUANGAN
Selain
lembaga-lembaga negara diatas, negara kita masih memiliki Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang juga berkaitan dengan fungsi pengawasan, khususnya
berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu, kedudukan kelembagaan
Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan
legislatif, atau sekurang kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang
dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, laporan hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan
atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. Dapat
dikatakan bahwa dengan adanya perubahan ketiga UUD 1945, keberadaan badan
pemeriksa ini mengalami perubahan yang sangat mendasar. Semula, ketentuan
mengenai BPK itu hanya diatur sepintas lalu dalam pasal UUD 1945, yaitu pada
pasal 23 ayat (5) yang menyatakan: “untuk memeriksa tanggungjawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal ini berada dalam Bab VIII tentang hal keuangan.
Tetapi, sekarang berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tahun
2001, hal ini diatur dalam bab baru tersendiri, yaitu Bab VIIA Badan Pemeriksa
Keuangan yang terdiri atas pasal 23E, pasal 23F, dan pasal 23G. Isinyapun lebih
lengkap yaitu masing-masing berisi tiga ayat, dua ayat, dan dua ayat sehingga
seluruhnya berjumlah tujuh ayat atau 7 butir ketentuan.
Pasal
23E menentukan bahwa “(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang
keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri;
(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD
sesuai kewenangannya; (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang”. Pasal 23F
menetukan bahwa “(1) anggota badan pemeriksa keuangan dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD, dan diresmikan oleh Presiden. (2) Pimpinan
badan pemeriksa keuangan dipilih dari dan oleh anggota”. Pasal 23 G menentukan:
“(1) badan pemeriksa keuangan berkedudukan di ibukota negara dan memiliki
perwakilan di setiap propinsi (2) ketentuan lebih lanjut mengenai badan
pemeriksa keuangan diatur dengan Undang-Undang”.
Dari
ketentuan-ketentuan tersebut diatas, setidak-tidaknya ada dua perkembangan baru
yang terjadi dengan Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu menyangkut perubahan bentuk
organisasinya secara struktural dan menyangkut perluasan jangkauan tugas
pemeriksaannya secara fungsional. Sebelumnya, organisasi BPK hanya memiliki
kantor perwakilan di beberapa propinsi saja karena kedudukan kelembagaannya
memang hanya terkait dengan fungsi pengewasan oleh DPR RI terhadap kinerja
pemerintahan di tingkat pusat saja. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD dan
pengertian keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan hanya terbatas pada
pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja. Karena
pelaksanaan APBN itu terdapat juga didaerah-daerah, maka diperlukan ada kantor
perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu. Kerana itu, dibandingkan dengan Badan
Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bentuk pemerintahan orde baru,
struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. BPKP mempunyai struktur organisasi
yang menjangkau ke seluruh daerah propinsi dan kabupaten/kota di seluruh
Indonesia. BPKP itu disatu segi merupakan lembaga “internal auditor” atas
kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi pemerintahan
yang diperiksa, sekaligus merupakan lembaga ‘external auditor’. Untuk
menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah maka pasal 23E ayat
(1) menegaskan bahwa “untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tetang
keuangan negara, diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan
mandiri”. Disini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri.
Karena itu, BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan digantikan fungsinya
oleh BPK yang menurut ketentuan pasal 23G ayat (1) “....berkedudukan di Ibukota
negara dan memiliki perwakilan di setiap Propinsi”.
Dari
segi jangkauan fungsi pemeriksaan tugas BPK sekarang menjadi makin luas. Ada
tiga perluasan yang dapat dicatat disini, Pertama, perluasan dari pemeriksaan
atas pelaksanaan APBN menjadi pemeriksaan atas pelasanaan APBN dan APBD serta
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua, perluasan
dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak saja dilaporkan kepada DPR di
tingkat pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan
tingkatan kewenangan masing-masing. Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap
lembaga atau badan-badan hukum yang manjadi obyek pemeriksaan oleh BPK, yaitu
dari sebelum hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau pemerintahan yang
merupakan subyek hukum tatanegara dan/atau subkyek hukum administrasi negara
meluas sehingga mencakup pula organ-organ yang merupakan subyek hukum perdata
seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun perusahaan swasta di mana didalamnya
terdapat kekayaan negara. Menurut ketentuan UU tentang keuangan negara yang
berusaha menjabarkan lebih lanjut ketentuan UUD 1945 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan ini, badan ini juga dapat memeriksa keuangan negara yang terdapat di
dalam saham perusahaan daerah (BUMD) ataupun BUMN, meskipun organ terakhir ini
mutlak sebagai penyimpangan, karena ketiganya bertentangan dengan pengertian
asli UUD 1945 mengenai soal ini. Akan tetapi, karena ketentuan baru dalam pasal
23E, pasal 23F, dan pasal 23G UUD1945 telah menentukannya secara baru, maka mau
tidak mau kita harus mencatat sebagai perkembangan baru dalam sistem hukum administrasi
keuangan negara kita di masa mendatang.
FORMAT
BARU KEKUASAAN KEHAKIMAN: MK dan MA
Sebelum adanya Perubahan UUD,
kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas
badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah
Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui
bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh
cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama Pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim
ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum
dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah
perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat
tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga
baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan Mahkamah
Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court) yang dewasa
ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung
(supreme court). Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke-78 yang
mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusiyang berdiri sendiri ini,
setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pad tahun
1948.
Dalam perubahan
ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima
kewenangan, yaitu:
a)
melakukan pengujian
atas konstitusionalitas Undang-Undang;
b) mengambil
putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut
Undang-Undang Dasar;
c) mengambil
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga
secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dari jabatannya;
d) memutuskan
perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan
e) memutuskan
perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9
orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar
belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan.
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya
sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3
orang yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh
Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi,
dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang
demikian. Diharapkan bahwa Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar
bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada
salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut.
Ada beberapa kritik yang biasa
diajukan orang berkenaan dengan pembagian tugas antara Mahkamah Konstitusi ini
dengan Mahkamah Agung. Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di
bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan perUndang-Undangan.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) ditentukan
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan dalam
pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang ....”. Pembagian demikian sama sekali tidak ideal, karena
dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Yang paling sering saya jadikan
contoh hipotesis adalah berkenaan dengan keabsahan materiel PP No. 110/2000
dibandingkan dengan UU No. 22/1999 di satu pihak, dan keabsahan UU No. 22/1999
dibandingkan dengan pasal 18 UUD 1945 dipihak lain. Misalnya, dapat saja
terjadi Mahkamah Agung memutuskan bahwa PP No. 110/2000 tersebut bertentangan
dengan UU No. 22/1999, sementara pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi
memutuskan UU No. 22/1999 itu bertentangan dengan UUD 1945.
Perbedaan
ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa memang sejak
sebelumnya Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang. Bahkan ketentuan demikian ditegaskan pula dalam ketetapan
MPR No. III/MPR/2000. Karena itu, ketika disepakati diadopsinya ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi dalam perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, maka
ketentuan lama berkenaan dengan kewenangan Mahkamah Agung itu dituangkan dalam
rumusan ketentuan pasal 24A perubahan ketiga UUD 1945 tersebut. Lagipula,
memang ada juga negara lain yang dijadikan salah sumber inspirasi juga oleh
anggota panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi ini, yaitu Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Dalam
konstitusi Korea Selatan, kewenangan ‘judicial review’ (constutitional review)
atas Undang-Undang memang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi
kewenangan ‘judicial review’ atas peraturan dibawah Undang-Undang diberikan
kepada Mahkamah Agung. Terlepas dari kelemahan ini, menurut pendapat saya
biarlah untuk semenatara waktu pembagian demikian diterima dan dipraktekkan
dulu pada tahap-tahap awal pertumbuhan lembaga Mahkamah Konstitusi ini di
Indonesia. Namun, untuk jangka panjang, memang harus dipikirkan kemungkinan
mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, keadilan bagi warga negara dapat
diwujudkan secara integral di bawah fungsi Mahkamah Agung, sedangkan peradilan
atas sistem hukum dan peraturan Perundang-undangan di letakkan di bawah
pengawasan Mahkamah Konstitusi.
Mengenai
Mahkamah Agung, dalam asal 24 ayat (2), dibedakan antara badan peradilan dari
lingkungan, peradilan. “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Oleh sebab
itu, badan-badan peradilan dalam keempat lingkungan peradilan tersebut semuanya
berada di bawah Mahkamah Agung, harus dibedakan antara organ Mahkamah dan
badan-badan peradilan dengan hakim sebagai pejabat hukum dan penegak keadilan.
Hubungan antar satu hakim dengan hakim yang lain bersifat horizontal, tidak ada
hubungan vertical atasan dan bawahan. Namun, organisasinya terdapat struktur
vertical atas bawah. Pengadilan tinggi adalah organisasi bawah Mahkamah Agung,
dan Pengadilan Negeri adalah organisasi bawahan Pengadilan Tinggi. Hal ini
jelas berbeda dari pengetian yang timbul dari doktrin kebebasan atau
kemerdekaan hakim, yaitu setiap individu hakim dalam menjalankan tugas utamanya
sebagai hakim bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggungjawab kepada
atasannya.
Komisi Yudisial
Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi
satu lembaga baru yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi
Yudisial. Dewasa ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju
mengembangkan lembaga komisi Yudisial (judicial commisions) semacam ini dalam
lingkungan peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya maupun di
lingkungan organ-organ pemerintahan pada umumnya. Meskipun lembaga baru ini
tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD
1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, karena itu, keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 24B ditegaskan: (1) Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keleluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harusmempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikn oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Susunan, kedudukan dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat
dipahami bahwa jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga
yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan lembaga baru ini
dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih lanjut ide pembentukan Majelis
Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang selama ini, akan tetapi, jika majelis
semacam ini dibentuk di lingkungan internal Mahkamah Agung, maka sulit
diharapkan akan efektif menjalankan fungsi pengawasan atas kehormatan hakim
agung itu sendiri, karena kedudukannya Yang tidak independen terhadap subyek
yang akan diawasi. Disamping itu, jika lembaga ini dibentuk di dalam struktur
Mahkamah Agung, maka subyek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim,
termasuk hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia. Di samping itu,
kedudukan Komisi Yudisial itu dapat pula diharapkan bersifat mandiri dan
independen sehingga dapat diharapkan menjalankan tugasnya secara lebih efektif.
Khusus terhadap Mahkamah Agung tugas Komisi Yudisial itu dikaitkan dengan
fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan
hakim lainnya, seperti hakim konstitusi, misalnya tidak diakitkan dengan komisi
Yudisial.
KEKUASAAN
PEMERINTAHAN NEGARA
1.
Kepala Pemerintahan
Eksekutif: Presiden Dan Wakil Presiden
Pemerintahan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sering dikatakan
menganut sistem presidential. Akan tetapi, sifatnya tidak murni, karena
bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu antara
lain tercermin dalam konsep pertanggung-jawaban Presiden kepada MPR yang
termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen, dengan kemungkinan pemberian
kewenangan kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatanya, meskipun
bukan karena alasan hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan,
terutama dikaitkan dengan pengalaman ketatanegaraan ketika Presiden Abdurrahman
Wahid diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah
munculnya keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia
yang bersifat Presidentil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang
Dasar 1945.
Selain alasan yang bersifat
kasuitis itu, dalam perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini
memang selalu dirasakan adanya kelemahan-kelemahan dalam praktek
penyelenggaraan sistem pemerintahan indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem
pemerintahan yang dianut, dimata para ahli cenderung disebut ‘quasi
presidentil’ atau sistem campuran dalam konotasi negatif, karena dianggap
banyak mengandung distorsi apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang
mempersyaratkan adanya mekanisme hubungan ‘checks and balances’ yang lebih
efektif di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat
perubahan pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan
Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional
terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem
pemerintahan kita menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan Presidentil.
Dalam sistem Presidentil yang
murni, pada pokoknya, tidak lagi perlu dipersoalkan mengenai pembedaan atau
apalagi pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Pembedaan dan pemisahan antara kedua fungsi itu hanya relevan dalam sistem
pemerintahan parlementer yang memang mempunyai dua jabatan terpisah, yaitu
kepala negara dan kepala pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan
Presidentil cukup memiliki Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa mempersoalkan
kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.
Dengan demikian tidak perlu lagi ada pembedaan antara sekretariat negara dan
sekretariat kabinet ataupun keputusan Presiden sebagai kepala negara dan
keputusan Presiden sebagai kepala pemerintahan, Republik Indonesia berdasarkan
sistem Presidentil hanya memiliki Presiden dan Wakil Presiden dengan tugas dan
kewenangannya masing-masing.
Bahkan, dalam konteks pengertian
Negara Hukum, prinsip “the rule of law”, dapat dikatakan bahwa secara simbolik,
yang dinamakan Kepala Negara dalam sistem pemerintahan Presidentil itu adalah
konstitusi. Dengan perkataan lain, kepala negara dari negara konstitusional
Indonesia adalah Undang-Undang Dasar, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden
beserta semua lembaga negara atau subyek hukum tatanegara lainnya harusnyalah
tunduk kepada konstitusi sebagai ‘the symbolic head of state’itu. Presiden dan
Wakil Presiden cukup disebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden saja dengan
seperangkat hak dan kewajibannya masing-masing atau tugas dan kewenangannya
masing-masing. Tidak ada keperluasn untuk membedakan kapan ia bertindak sebagai
kepala negara dan kapan ia berperan sebagai kepala pemerintahan seperti
kebiasaan dalam sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, dalam sistem
kenegaraan yang dapat kita sebut ‘constitutional democratic republic’,
kedudukan KONSTITUSI bersifat sangat sentral. Konstitusi pada dasarnya
merupakan KEPALA NEGARAyang sesungguhnya.
Badan
dan Lembaga Eksekutif Yang Bersifat INDEPENDEN
Selain
lembaga-lembaga negara seperti tersebut di atas, bentuk keorganisasian banyak
negara modern dewasa ini juga mengalami perkembangan-perkembangan yang sangat
pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan.
Perkembangan-perkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia di tengah
keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era
reformasi empat tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang
makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara,
organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus
dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan
untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih
efektif. Dari keempatnya, yang sekarang ini telah menikmati kedudukan yang
independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian
Negara (POLRI) dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan Kejaksaan
Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi yang independen.
Pada
tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus
seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi (KPPU),
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lain sebagainya, jika
nanti, Undang-Undang tentang Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru
lagi, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga bersifat independen. Di
bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru
yang bernama Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga ditentukan
bersifat independen. Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan
Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN).
Komisi-komisi
atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independen dan
seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campur-sari, yaitu semi
legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi yudikatif.
Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self regulatory
bodies’yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat,
Lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an jumlahnya dan pada
umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan Kongres
Amerika Serikat. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya, adalah
Federal Trade Commission (FTC), Federal Communication Commision (FCC), dan
sebagainya. Kedudukan lembaga-lembaga ini di Amerika Serikat, meskipun secara
administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan eksekutif, tetapi
pengangkatan dan pemeberhentian para anggota komisi itu ditentukan dengan
pemilihan oleh Kongres. Karena itu, keberadaan lembaga-lembaga seperti ini di
Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan pengaturannya dalam
kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia Modern, dan sekaligus dalam kerangka
pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi
di masa yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar